Sadiman Pahlawan Penghijauan dari Wonogiri



Mbah Sadiman, laki-laki berusia 66 tahun ini tampak bersemangat naik turun gunung. Meskipun nampak sudah sepuh namun semangat menyala-nyala masih tercermin dari kilatan pandangannya. Dia dan Istrinya adalah seorang petani penggarap lahan tumbangsari di areal Perhutani, dengan menjual rumput dari areal perhutani kemudian dijual ke pasar menjadi kegiatan harian mbah sadiman. Yang paling istimewa dari mbah sadiman adalah kepeduliannya terhadap lingkungan. Lelaki tua ini sendirian melakukan penanaman pohon-pohon pengikat air di areal hutan lahan milik negara yang hasilnya tak akan dinikmati. sudah 20 tahun terakhir mbah Sadiman mendedikasikan hidupnya terhadap lingkungan dengan merawat dan membersihkan hutan, termasuk menyulami atau menanami tanaman kembali jika tanaman sebelumnya mati.

Luas area yang dia tanami tak kurang dari 100 hektar lahan hutan di Bukit Gendol dan Lawu. Jaraknya 100 km dari kota Solo. Mbah Sadiman menuturkan bahwa ketika dia kecil dulu, dia merasakan sendiri sumber air di kawasan ini sangat melimpah, namun sumber air itu semakin berkurang ketika kayu-kayu hutan di kedua bukit ini dijarah warga untuk di jadikan bahan bangunan maupun dijual. Puncak dari kerusakan hutan di kawasan ini terjadi pada tahun 1964 ketika terjadi kebakaran besar, seluruh tanaman hutan itu hangus terbakar. Kondisi hutan di kedua bulit ini di biarkan selama bertahun-tahun sehingga sumber air semakin krisis. Banyak lahan pertanian milik warga tidak terurus karena sulitnya air, bahkan warga dan ternak mengalami kekurangan air.
Pemerintah kemudian memutuskan untuk melakukan penghijauan kembali dengan membuat hutan produktif. Kedua bukit itu dijadikan hutan pinus di bawah pengawasan Perhutani. Selama bertahun-tahun Mbah Sadiman bekerja sebagai penyadap getah pinus.
“Setiap hari saya naik gunung ini, saya amati dan saya pikirkan kondisinya. Ternyata pohon pinus tidak banyak membantu mengikat aiir alam. Jika penghujan sering banjir, jika kemarau tetap saja kami kekurangan air. Setelah itu sejak tahun 1996 saya putuskan untuk menanam pohon beringin di lokasi-lokasi yang tidak ada tanamannya. Saya minta izin penjaga hutan, ternyata diperbolehkan”.Ujarnya.

Pekerjaan Sadiman sebagai petani dan pencari rumput untuk ternak memang tidak menjanjikan banyak materi, bahkan mungkin jauh dari cukup. Namun, ia rela mengeluarkan uangnya sendiri untuk membeli bibit pohon beringin, sedikit demi sedikit.
Harga bibit beringin yang berkisar Rp 50.000 hingga Rp 100.000 cukup mahal baginya. Untuk menyiasati kendala biaya, awalnya ia mencangkok pohon di hutan untuk memperoleh bibit secara gratis. Namun cara ini butuh banyak usaha dan waktu.
Ia kemudian mengembangkan usaha bibit cengkih di halaman rumahnya untuk dijual dan ditukarkan dengan bibit beringin. Sepuluh bibit cengkih bisa ditukar dengan satu bibit beringin ukuran satu meter.
Sadiman menanam dan merawat pohon-pohonnya dengan serius. Ia membeli sendiri pupuk untuk mendukung pertumbungan tanaman, membuat tulisan larangan penebangan pohon di hutan, dan menyiapkan beberapa kader pemuda untuk peduli merawat hutan.
“Saya selalu mengajak anak muda untuk menanam pohon dan melarang menebangnya. Pohon menopang hidup kita, menyediakan air bersih dan menahan erosi dan banjir,” kata Sadiman.
Saat ini, Sadiman masih membutuhkan sekitar 20.000 bibit pohon lagi untuk ia tanam agar hutan lebih hijau, sekaligus meningkatkan debit air sehingga bisa dinikmati lebih banyak penduduk. Ia juga bisa menerima donasi selain bibit pohon beringin, asal berupa tanaman kayu keras yang berakar kuat.
“Pak Sadiman itu kalau dikasih uang Pak camat, bupati, atau siapa saja, semuanya dibelikan bibit pohon, tak pernah untuk kebutuhan pribadi dia,” ujar Rahmat, warga desa sekaligus tetangga yang mengagumi semangat petani tua itu.
Kepala Desa Geneng, Tarno, menyebut Sadiman sebagai pribadi yang ikhlas karena tidak pernah berharap imbalan dari pemerintah atau orang lain dalam menghijaukan hutan. Ia mengakui upaya Sadiman telah banyak membantu warga desa menikmati air bersih.
“Dulu orang menimba air dari sumur di tepian sungai, kalau musim kemarau selalu kering,” kata Tarno.
“Sekarang semuanya lebih mudah, setidaknya cukup air untuk kebutuhan rumah tangga sebagian besar warga desa."
Desa Geneng terdiri dari 839 keluarga, lebih dari 600 di antaranya mendapatkan akses air bersih dari mata air di Gendol. Sedangkan di Desa Conto, ada dua dusun yang juga memanfaatkan alirannya.
Keberhasilan Sadiman memperbaiki hutan kini menimbulkan kesadaran bagi warga setempat tentang pentingnya pohon. Sebagian masyarakat yang dulu abai terhadap penghijauan dan menganggap usaha Sadiman sia-sia, kini mulai ikut peduli terhadap lingkungan.
“Beberapa dusun mulai kompak ikut mendukung usaha Pak Sadiman karena mereka sudah melihat hasilnya,” kata Tarno.
Kini sumber air di kedua bukit ini kembali melimpah berkat kepedulian Mbah Sadiman yang mendedikasikan hidupnya untuk menjaga lingkunga dengan menanam pohon beringin.
(sumber: rappler.com, jakarta post dan sampah plastik)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cahyo Alkantana

Kisah Ibu Sri Sumarwati (Ketua Umum Forum Komunikasi PKBM Indonesia, mengumpulkan anak-anak jalanan)

Sri Bebassari "Ratu Sampah Indonesia"